Sutradara: Olga Lydia, Cathy Sharon, Marcella Zalianty, Happy Salma, Rachel Maryam
Bintang: Amanda Soekasah, Lukman Sardi, Yama Carlos
Tahun: 2013
"Aku jatuh cinta pada seseorang yang hanya mampu aku gapai sebatas punggungnya saja.
Seseorang yang aku sanggup menikmati bayangannya dan tidak akan pernah bisa aku miliki,
seseorang yang hadir bagai bintang jatuh,
sekelebat kemudian menghilang,
sebelum tangan ini sanggup mengejar,
seseorang yang hanya bisa aku kirimi isyarat,
sehalus udara, langit awan atau hujan."
Saya harus akui kalau saya belum pernah membaca karya tulis Dewi Lestari dalam bentuk apapun. Tanpa malu, saya juga harus akui sebelum menonton film ini, pengetahuan saya akan kumpulan cerita pendek karya Dee boleh dibilang nihil. Justru karena begitu, saya percaya kalau saya adalah orang yang paling sering menghelakan dan menahan nafas selama pemutaran film ini. Yep, call me lebay!
Rectoverso sendiri mempunyai beberapa arti. Dalam dunia percetakan recto-verso adalah pengkodean halaman dari kanan ke kiri, seperti buku-buku dalam bahasa Arab atau Mandarin. Dalam bahasa Perancis (bahasa yang tampaknya tidak akan pernah saya kuasai dengan mahir walau sudah bertahun-tahun belajar juga), rectoverso mempunyai arti dua sisi dari selembar kertas.
Dalam beberapa situs, Rectoverso disebut sebagai film omnibus, yang mana artinya film ini adalah kumpulan dari beberapa film pendek yang mempunyai satu kesamaan. Dalam hal ini, kesamaan dari semua film-film pendek ini adalah akhir kisah cinta yang tidak bahagia. Pendeknya, gak ada yang bahagia di film ini.
Rectoverso terdiri dari 5 segmen dengan 5 sutradara muda. Seperti pengakuan saya sebelumnya, kelima kisah film-film pendek ini didasari dari kumpulan cerita pendek popular karya Dewi Lestari. Kelima cerita tersebut adalah: Cicak di Dinding, Firasat, Curhat untuk Sahabat, Malaikat juga Tahu dan bagian yang paling saya sukai, Hanya Isyarat. Sinopsis dari masing-masing film pendek ini dapat dilihat di situs
Rectoverso.
Sedikit catatan untuk Hanya Isyarat. Ini adalah bagian yang paling-paling-paling saya sukai (Kudu 3 kali palingnya, biar pada jelas!). Selain latar belakang pantai dan laut, dialog di adegan-adegan film pendek ini begitu puitis tanpa berkesan norak atau terlalu baku, seolah-olah sang penulis naskah menggunakan KBBI sebagai acuan menulis. Justru sebaliknya dialog-dialog puitis ini menggugah emosi penonton (baca: saya) dengan teratur, dengan rapi dan hasilnya sangat menyentuh.
Apa yang membuat film ini begitu istimewa sebagai satu kesatuan? Selain naskah yang ditulis dengan baik, juga keberhasilan sutradara-sutradara perempuan ini yang berhasil menerjemahkan tulisan-tulisan tersebut dengan gambar, dengan adegan yang begitu puitis, begitu rapi, begitu menyentuh. Di-edit dengan begitu baik, sehingga alur cerita dari keroyokan 5 film pendek terkesan sangat rapi dan tidak membingungkan.
Tentunya, keberhasilan film ini juga dipengaruhi oleh kesempurnaan pemeran-pemeran dari film ini dalam menjiwai karakter yang sungguh beragam, seperti Lukman Sardi, membawakan peran Abang, karakter yang sangat istimewa, dengan emosi yang berapi-api atau Amanda Soekasah, sebagai Al yang memberikan kesan tertutup dan Soekasah berhasil menghipnotis saya dengan kemampuan yang luar biasa. Selain mereka, tentunya masih ada pemeran-pemeran lain yang layak untuk dikenang, seperti: Yama Carlos, Dewi Irawan, dan bahkan Sophia Latjuba tidak mengecewakan.
Mungkin satu-satunya kesalahan film ini adalah saat lagu Malaikat juga Tahu berkumandang dengan begitu tidak pada tempat dan saatnya, seperti usaha -siapapun itu- untuk menguras emosi penonton. Mungkin dengan musik orkestra atau bahkan petikan gitar, rangkaian adegan-adegan akhir film itu lebih mengguncang emosi saya.
Sayang sekali, Rectoverso diputar tidak lebih dari 25 biskop di Jakarta dan sebagian besar biskop-biskop tersebut adalah biskop kecil.
Sungguh disayangkan.
I own no right for all the photos. They are taken mostly from internet.