Jum'at kemarin, janjian dengan pacar, kami menonton film The Shutter Island, yang adalah karya terbaru dari Martin Scorsese. Scorsese memang terkenal dengan kebiasaan untuk mencoba sesuatu yang baru. Percaya atau tidak, Scorsese yang menyutradarai film-film seperti The Age of Innocence, The Last Temptation of Christ, The Aviator dan video Michael Jackson, Bad.
Ide cerita film ini sebenarnya tidak terlalu istimewa, mengingat sudah beberapa kali penonton dibawa untuk menelusuri sebuah film dari titik pandang salah satu tokohnya, yang kebetulan adalah orang yang tidak hidup dalam kenyataan (kenyataan di film, maksudnya). Saya membayangkan (mungkin) Joko Anwar duduk di baris paling belakang, tersenyum dan berpikir kalau dia lebih dulu menggunakan alur cerita ini terlebih dahulu dalam filmnya Pintu Terlarang.
Adalah seorang US Marshall, yang bernama Teddy Marshall yang menginvestigasi kehilangan pasien di rumah sakit jiwa yang menangani pasien-pasien dengan tingkat kesakitan jiwa yang berbahaya. Selama 138 menit, penonton dibawa dalam perjalanan menebak siapa sebenarnya yang gila dan pada akhirnya ketika kebenaran terungkap, penonton seolah-olah baru saja diantar keluar dari upacara pemakaman yang panjang.
Walau ide penceritaan-nya sudah berkali-kali muncul di layar perak, tak berarti Scorsese gagal menuangkan kejeniusannya dalam bercerita. The Shutter Island masih terlihat menakutkan, depresif dan walau tidak mengejutkan, tetapi mampu memainkan emosi penonton melalui dialog-dialog yang cerdas.
Saya suka sekali ketika Teddy Daniels, salah satu tokoh utama di film ini berkata, "It was like an insect crawling inside my brain, pulling my strings for fun" untuk menggambarkan kegilaan. Untuk sesaat, saya berpikir betapa rapuh dan kompleksnya manusia itu.
Ide cerita film ini sebenarnya tidak terlalu istimewa, mengingat sudah beberapa kali penonton dibawa untuk menelusuri sebuah film dari titik pandang salah satu tokohnya, yang kebetulan adalah orang yang tidak hidup dalam kenyataan (kenyataan di film, maksudnya). Saya membayangkan (mungkin) Joko Anwar duduk di baris paling belakang, tersenyum dan berpikir kalau dia lebih dulu menggunakan alur cerita ini terlebih dahulu dalam filmnya Pintu Terlarang.
Adalah seorang US Marshall, yang bernama Teddy Marshall yang menginvestigasi kehilangan pasien di rumah sakit jiwa yang menangani pasien-pasien dengan tingkat kesakitan jiwa yang berbahaya. Selama 138 menit, penonton dibawa dalam perjalanan menebak siapa sebenarnya yang gila dan pada akhirnya ketika kebenaran terungkap, penonton seolah-olah baru saja diantar keluar dari upacara pemakaman yang panjang.
Walau ide penceritaan-nya sudah berkali-kali muncul di layar perak, tak berarti Scorsese gagal menuangkan kejeniusannya dalam bercerita. The Shutter Island masih terlihat menakutkan, depresif dan walau tidak mengejutkan, tetapi mampu memainkan emosi penonton melalui dialog-dialog yang cerdas.
Saya suka sekali ketika Teddy Daniels, salah satu tokoh utama di film ini berkata, "It was like an insect crawling inside my brain, pulling my strings for fun" untuk menggambarkan kegilaan. Untuk sesaat, saya berpikir betapa rapuh dan kompleksnya manusia itu.
Tokoh Teddy Daniels diperankan begitu dinamis oleh DiCaprio. Ada saat, di mana saya melihat Daniels sebagai antagonis, tetapi pada saat film mencapai klimaks, dia hanya seorang pria yang hancur hatinya dan dia bahkan memilih untuk "menghukum" hidupnya, "Which would be worse, to live as a monster or to die as a good man?" Scorsese tidak menjelaskan eksplisit apa yang terjadi terhadap Daniels di akhir film, tetapi saya yakin di setiap pikiran penonton, Daniels tidak akan hidup sewajarnya.
Tak bisa dipungkiri, Shutter Island penuh dengan dialog-dialog yang membuat saya takut, sedih dan berpikir keras. Kalimat "Stop me before I kill more", menurut IMDb, merupakan rujukan ke sebuah kasus pembunuhan yang tidak pernah dipecahkan di tahun 40an.
Saya setelah selesai menonton film ini, untuk sesaat menyadari saya seringkali membuat keputusan yang salah dalam hidup dan seringkali pula saya tertarik untuk tidak menerima kenyataan yang menjadi akibat (bukan hukuman loh!) dari perbuatan saya dan memilih untuk menghilang dalam khayalan, mungkin pada saat itu, saya sudah dihitung gila. HAHAHA.
No comments:
Post a Comment